Monday, August 22, 2005

Metro

Di mana aku? Tubuhku serasa bergoyang-goyang dengan irama yang tetap. Perlahan kubuka mataku. Pandanganku masih sedikit kabur dan kepalaku rasanya penat sekali. Setelah itu berangsur-angsur penglihatanku semakin jelas, apakah aku sedang duduk di dalam kereta? Bukan! Lebih tepatnya ini sebuah metro. Metro yang sedang melaju kencang di bawah tanah.

Kulihat orang-orang berdesakan sebagian duduk sambil menikmati goncangan-goncangan kecil yang ditimbulkan metro yang sedang berjalan di rel ini. Sementara itu, orang-orang yang lain berdiri sambil melindungi barang bawaannya supaya jangan jatuh, ada juga yang tidak kebagian pegangan dan bergantung pada keseimbangan badannya sambil kadang-kadang mencari bagian metro yang bisa digenggam ketika terjadi goncangan keras.

Mengapa aku ada di sini? Aku mau ke mana? Melupakan hal itu sejenak, kulayangkan pandanganku kalau-kalau ada seseorang yang aku kenal di gerbong ini, tetapi tak seorangpun kukenal dan tak seorangpun sedang memperhatikanku. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri.

Dua orang anak muda yang duduk satu di sebelahku dan yang lain di depanku sedang mendengarkan mp3 dengan volume max. Tampaknya mereka sebentar lagi akan mengikuti konser. Berkali-kali dihentak-hentakkannya kaki dan ditepuk-tepukan tangannya ke pahanya seperti orang bermain drum dengan irama cepat sementara yang lain menyanyikan lagu dengan syair yang aneh.

Ahh berisik, lama-lama aku merasa terganggu juga. Aku menduga-duga jangan-jangan aktivitas mereka berdua ini yang tadi membangunkanku. Sebaiknya aku lebih baik segera pergi dari tempat ini. Aku mencoba berdiri, kepalaku masih pusing dan keseimbanganku tidak stabil mungkin karena sakit kepala ini ditambah goncangan kereta yang makin keras begitu melewati jalan menurun.

Begitu aku berdiri, kulihat sudah ada sesorang duduk di sana, aneh sejak kapan dia duduk di sana padahal belum ada semenit aku berdiri. Mengapa metro ini begitu penuh dan sesak dengan penumpang yang tak kunjung berkurang maupun bertambah. Aku melangkah melewati kursi-kursi dan berdesak-desakan dengan orang-orang yang berdiri dekat pintu metro dan berharap kalau metro ini berhenti aku akan mengetahui di mana aku sekarang dan setidaknya jumlah penumpang ini berkurang.

Lima menit menunggu, metro ini belum pernah berhenti sekalipun kecuali jika ada metro lain yang melintas dari arah yang berlawanan. Kulayangkan pandanganku untuk ke sekian kalinya, kulihat seorang bapak tua yang ketiduran di kursinya yang dekat jendela metro. Melihat dari penampilannya sepertinya beliau tertidur bukan karena kecapaian. Dengan sebuah tas kumal dan segulung tikar dalam dekapannya, sepertinya bapak tua itu telah beberapa hari tidak tidur mencari tempat berteduh.

Kualihkan pandanganku ke gerbong sebelah yang hanya dibatasi dengan sebuah pintu kaca. Tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang anak muda bertopi baseball yang memasukan tangannya di tas tante gendut yang sedang ribut menyela orang-orang yang berdiri untuk mencari kalau-kalau ada tempat yang kosong. "Celaka, aku harus segera mencegahnya atau paling tidak menangkapnya, dia toch sebaya bahkan lebih kecil dariku," pikirku cepat dan segera berlari secepat mungkin melewati kerumunan dan melewati pintu pembatas. Cepat...cepat...dia sudah mendapatkan barang yang dia cari, sebuah dompet kulit merk Prada. Pencopet cilik itu berlari ke arahku, "lucky!" pikirku. Tetapi di saat yang bersamaan ketika pencopet itu mendekatiku, sekali lagi metro bergoncang keras ketika berbelok di sebuah tikungan. Aku terjatuh di lantai metro yang kasar dan kotor, begitu melihatnya lagi aku yakin sekali tanganku masih cukup panjang untuk menarik lengannya yang membawa dompet itu. Hey mengapa tidak bisa? Apa dia berlari sangat cepat sampai-sampai tanganku serasa menembus tangannya? Tidak mungkin, begitu banyak orang berdiri di sepanjang jalan. Dia tak akan bisa lolos secepat itu, siapa saja tolong tangkap dia... masa tidak ada orang yang menyadari kejadian yang baru saja terjadi?

Sesaat kemudian terdengar teriakan seorang wanita, walaupun aku tak melihatnya aku kira itu pasti teriakan tante gendut yang menyadari seseorang telah mencuri dompetnya. Aku berusaha berdiri lagi dan ingin memberitahunya bahwa aku melihat anak yang mencuri dompetnya tetapi mendadak metro menjadi gaduh, orang-orang tergesa-gesa berlari ke arahku, melewatiku, bahkan ada yang menubrukku berkali-kali sehingga aku memilih untuk tetap tinggal di tempat tetapi aku tidak merasakan sakit apa mereka teralu cepat seperti angin? Kepalaku semakin penat, mungkin karena suasana yang makin panas dan sumpek dengan orang-orang yang berdesakan ingin mencapai bagian depan dari metro ini. Ada apa? Apa yang terjadi? Kulihat orang-orang di dalam metro ini menjadi liar, mereka berteriak, menggedor pintu kendali dan jendela, saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya seolah-olah semuanya ingin segera keluar dari kendaraan panjang yang sedang melaju kencang di bawah tanah ini. Satu-satunya pemandangan yang janggal adalah bapak tua yang masih tertidur pula itu. Ingin kuteriakan sesuatu agar beliau terbangun dan segera pergi. Tetapi mengapa aku harus berteriak, untuk apa, aku pun di sini tak bisa ke mana-mana, seandainya bisapun aku harus berbuat apa?

Temperatur ruangan semakin memanas, udara yang sangat panas seperti datang dari belakangku. Menyengat seperti akan membakar seluruh tubuhku. Ketika kupalingkan pandanganku ke belakangku dalam hitungan detik, semua yang di belakangku telah dihanguskan termasuk orang-orang yang belum sempat mencapai gerbong-gerbong depan. Begitu cepat, begitu singkat, begitu panas, memekikan telinga, betapa mengerikannya, apakah ini yang terjadi dalam tungku kremasi di rumah duka?

Kepalaku penat, sekitarku gelap, tubuhku bergoyang-goyang seirama dengan goncangan di sekitarku. Aku mulai mengingat, bukan apa yang baru saja terjadi, tetapi mengapa aku ada di sini. Aku mau menjemput tante Ann yang baru datang dari Amsterdam untuk berjalan-jalan di kota London. Lalu ledakan itu tiba-tiba terjadi. Masih teriang di telingaku teriakan pilu itu, akupun juga berteriak aku masih ingin hidup aku tidak akan mati konyol dalam terowongan ini. Aku takut untuk membuka mataku, masih teralu takut untuk melihat di manak aku sekarang.

Jelas orang-orang itu tidak melihatku, orang yang duduk di tempatku sudah ada di sana jauh sebelum aku membuka mataku, akulah yang duduk di tempatnya. Pencopet itu tidak menyadari aku melihat perbuatannya karena dia tidak bisa melihatku, aku tak bisa menangkapnya bukan karena dia berlari teralu cepat tetapi karena aku memang tembus pandang, dan bapak tua itu tidak mendengar teriakanku karena tak seorangpun tahu aku ada bersama mereka dalam metro yang sesak itu. Mungkinkah aku..aku telah…meninggalkan dunia ini dan terperangkap dalam waktu yang berulang-ulang seperti kisah misteri yang kubaca beberapa hari yang lalu. Ternyata kisah itu bukan sekedar fiksi belaka.

Goncangan itu berhenti, tetapi kepalaku masih pusing dan berat. Ada suara memanggilku dari jauh, siapa? Apakah itu panggilan malaikat pencabut nyawa? Tidak..aku belum siap. Suara itu semakin mendekat dan bukan satu tapi ada beberapa. Mereka memanggil namaku. Apakah akhirnya metro ini berhenti di stasiun terakhir? Di manakah itu aku bertanya-tanya? Ayolah, aku tidak boleh jadi pengecut seperti ini, buka mata! Hadapi kenyataan. Kelopak mataku begitu berat, napasku sesak, tubuhku tidak bisa bergerak, dalam pandanganku yang kabur aku dapat melihat beberapa bayangan hitam memandangiku menghalangi cahaya putih yang begitu menyilaukan sampai-sampai membuat mataku sakit. Mereka meneriakkan namaku dan bahasa lain yang tak asing lagi di telingaku.

Surgakah atau neraka? ini di mana? Dapat kucium bau yang begitu khas di tempat itu. Sesosok berbaju putih mendekatiku dengan tongkat bersinar di tangan kanannya. Malaikatkah? Bukan, sosok itu adalah seorang dokter. Aku berada di rumah sakit rupanya. Tubuhku serasa begitu sakit, tetapi hatiku melonjak dan tak henti-hentinya mengucap syukur karena aku dapat merasakan rasa sakit itu lagi. Aku hidup…aku masih hidup teriakku dalam hati.