Thursday, May 19, 2005

Story 3: Boy's costumes

Karnaval masih berlangsung meskipun perlahan-lahan orang-orang mulai pergi. Aku masih saja terpaku di depan komputer dengan muka masam. Internet sudah bukan sesuatu yang menarik perhatianku lagi, konsentrasiku buyar aku tidak tahu website mana yang ingin aku buka atau website apa yang sedang aku lihat sekarang. Aku ingin kunciku, aku ingin kembali ke kamarku!! teriakku dalam hati.

Sesaat kemudian, si Oki muncul dari pintu lift yang tepat berada beberapa meter saja dari meja komputerku. Mendapati hanya aku orang Indonesia yang sedang berada di ruang komputer itu, wajah si cowok satu ini menjadi berseri-seri dan segera menghampiriku. Selidik punya selidik, ternyata Oki sedang mau ke Amsterdam cari kerja part-time, dia juga tahu aku sedang pengangguran saat itu. Buatnya hal ini adalah kesempatan baik untuk mengajakku mencari kerja juga meskipun aku bisa membaca dari raut mukanya kalau dia hanya butuh teman pergi.

Setelah kutimbang-timbang memang aku tidak akan tahan dalam keadaan sini sampai Tifa pulang. Aku harus pergi untuk melepaskan kekesalanku. Oki memang datang pada saat yang tepat meskipun ada maksud lain dibalik ajakannya. Hanya satu masalah, aku masih memakai piyama dan sepasang sandal. Ini bukan pakaian yang layak untuk pergi di tengah cuaca sedingin ini. Oki menyadari keadaanku lalu menawarkan meminjamkan jaket dan sepatu ketsnya.

Baju pergi Oki memang banyak, dia juga punya beberapa jaket musim dingin, dan sepatunya pun ada beberapa pasang hanya satu masalah Oki bukan cewek. Dia menawarkanku sepasang sepatunya dan jaketnya yang menurutnya paling kecil. Setelah aku memakainya aku merasa badanku mengecil ketika bayanganku terpantul di cermin dengan sepatu yang lima nomer lebih besar dari ukuranku dan jaket yang lengannya 10 cm lebih panjang dari ukuran tanganku.

Dengan tinggi badan 167 cm dan berat 55 Kg, aku memang bukan seorang cewek yang mungil dan imut dan entah mengapa aku juga mempunyai sindrom melihat cowok-cowok sebayaku selalu tampak lebih pendek dari aku. Yang aku tahu, sepertinya keadaanku ketika aku SD memang cukup berpengaruh. Aku adalah cewek paling tinggi selama SD minimal itulah yang guru-guruku bilang ketika aku harus berbaris di baris paling belakang dan teman cowok di kelasku pun belum ada yang setinggi aku. Tentu saja ketika SMU pandangan itu berubah ketika para cowo mulai tumbuh begitu cepatnya dan masa pertumbuhanku hampir berhenti. But still...I have that syndrom.

Cukup shock juga ketika aku menyadari betapa kecilnya aku dalam baju Oki. Oki yang selama ini juga kuanggap kira-kira lima senti lebih pendek dariku. Kualihkan pandanganku ke Oki, dan dia tampak tersenyum puas bercampur geli melihat keadaanku. Aku bukan pacarnya tentu saja penampilanku pun bukan masalah baginya selama menurutnya jaket dan sepatunya cukup melindungiku dari cuaca dingin. Wajahku kembali masam sambil melepas kembali jaket dan sepatunya. Kukatakan maaf padanya karena aku sedang tidak mood untuk pergi dan segera keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua selantai dengan kamarku juga.

"Hi, how are you?" Sapaan Willy yang cukup menyentak lamunanku di koridor lantai dua itu. Willy, Willy si asisten student hostel itu baru saja pulang belanja. Betapa bodohnya aku, orang ini selalu punya kunci master untuk semua pintu. Dengan segera aku menghampirinya dan menceritakan masalahku. Dengan berdecak keheranan, akhirnya diapun meminjamkan kunci itu padaku. Hore aku bisa masuk kamarku lagi. Dank je wel Will!!