Tuesday, May 17, 2005

Story 2: Morning's Accident

Haarlem, 5 Desember 2002, Saint Nicholas dag. Hampir lima bulan sudah aku berada di Negara kincir angin ini. Aku sungguh menikmati hari-hariku di sini meskipun sekarang cuaca sudah semakin dingin. Tahun ini adalah musim dingin pertamaku dan aku berharap untuk melihat salju untuk pertama kalinya dalam hidupku. Seperti apakah butiran-butiran salju itu? Apakah mirip kapas-kapas yang menghias pohon natal di gerejaku tiap tahun Cuma yang satu ini lebih dingin mungkin? Tetapi sampai awal bulan Desember ini, tak ada satu tandapun bahwa salju akan turun di samping angin dan temperatur yang cukup dingin untuk membuat es krim tidak akan meleleh.

Hari ini adalah hari perayaan santa Nikolas. Pagi itu aku bangun lebih awal dari hari-hari liburku pada umumnya hanya untuk mendapatkan sebuah komputer kosong di lantai dasar dan menikmati internet selama mungkin. Sejam saja aku terlambat bangun, mungkin aku harus menunggu minimal satu jam berikutnya untuk mengantri internet yang hanya tersedia di tiga komputer di ruang dasar itu. Apalagi karena hari ini hari libur, banyak student lain yang memutuskan tinggal di asrama saja daripada harus berjalan atau bersepeda menembus udara dingin ke sekolah hanya untuk mengirim sepucuk email.

Sekitar jam 10, terdengar alunan musik karnaval di depan asrama. Santa Nikolas dan Piet Hitamnya sedang bernyanyi sambil membagi-bagikan coklat kepada anak-anak dan orang tuanya yang berkumpul di depan asramaku yang kebetulan dibangun dari bekas bangunan tua Heilig Hart Kerk (gereja Hati Kudus). Aku meninggalkan komputerku dengan sebuah dokumen word terbuka dengan harapan orang lain akan mengira aku sedang dalam proses membuat tugas. Aku berlari menuju pintu depan gereja dengan masih mengenakan sandal dan piyamaku. Di tengah jalan aku bertemu dengan roomateku Tifa telah berpakaian rapi dan siap pergi dengan Fajar teman setanah air yang kebetulan kamarnya tepat di depan kamarku dan Tifa. Mau kemana dua orang itu sepagi ini? tanyaku dalam hati. Tifa segera menyingkapi keherananku dan mengatakan dia mau nge-apply langganan hp di Zandvoort dan Fajar yang tahu tempatnya. Sebelum aku sempat berkata sepatah katapun, Tifa tampak terburu-buru mengajak Fajar pergi karena kereta jurusan Haarlem-Zandvoort Cuma datang 30 menit sekali. Diapun hanya sempat melambaikan tangannya dan berlari menembus kerumunan orang ketika aku meneriakan beberapa patah kata yang tak mungkin lagi didengarnya, ”Tif, aku ga bawa kunci ka mar....” Kamar di gereja ini cuma bisa dibuka dari dalam tetapi tidak dari luar tanpa kunci.

Terlambat sudah, pagi itu aku terperangkap dalam baju tidurku berdiri di belakang gerombolan orang yang mengelilingi santa dan piet hitamnya. Musik karnaval itu seolah-olah menjadi background musik yang cukup menertawakan ketidakberuntunganku pagi itu hanya karena kecanggihan teknologi yang disebut internet aku lupa membawa kunci kamarku.